Sabtu, 03 Desember 2011

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana




Vivi memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun jadian mereka yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Beni lupa. Ulang tahun pertama, Beni lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Beni memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, Vivi memaklumi. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Beni harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu Beni menyatakan kekesalannya, dengan kalem Vivi menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi Beni sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat Vivi berada di kamar mandi. Vivi memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun prnikahan mereka. Vivi ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Dia menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun jadi sendiri? Vivi mendengus kesal. Beni memang berbeda dengannya. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering  dia bayangkan saat sebelum menikah dengannya.
Sedangkan Vivi, ekspresif dan romantis. Dia selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Dia juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I Love You setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat SMS saat Beni keluar kota. Pokoknya, baginya cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Vivi tahu, kalau dia mencintai Beni, dia harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih Beni tidak mau berubah dan belajar? Bukankah Vivi sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya Vivi kesal, titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan baginya. Mereka uring-uringan. Beni jadi benar-benar menyebalkan di mata Vivi. Vivi mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadanya dalam tiga tahun jadi mereka. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali mereka sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskan Beni untuk tidur sepanjang hari. Jadilah Vivi manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesal Vivi semakin menjadi. Apalagi, hubungan mereka seminggu ini memang sedang tidak baik. Mereka berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas mereka masing-masing membuat mereka bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali mereka bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini Vivi sudah mengosongkan semua jadwal kegiatannya. Dia ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Beni. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena mereka belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Vivi memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun jadian mereka yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Beni lupa. Ulang tahun pertama, Beni lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Beni memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, Vivi memaklumi. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Beni harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu Beni menyatakan kekesalannya, dengan kalem Vivi menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi Beni sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat Vivi berada di kamar mandi. Vivi memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun prnikahan mereka. Vivi ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Dia menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun jadi sendiri? Vivi mendengus kesal. Beni memang berbeda dengannya. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering  dia bayangkan saat sebelum menikah dengannya.
Sedangkan Vivi, ekspresif dan romantis. Dia selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Dia juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I Love You setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat SMS saat Beni keluar kota. Pokoknya, baginya cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Vivi tahu, kalau dia mencintai Beni, dia harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih Beni tidak mau berubah dan belajar? Bukankah Vivi sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya Vivi kesal, titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan baginya. Mereka uring-uringan. Beni jadi benar-benar menyebalkan di mata Vivi. Vivi mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadanya dalam tiga tahun jadi mereka. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali mereka sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskan Beni untuk tidur sepanjang hari. Jadilah Vivi manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesal Vivi semakin menjadi. Apalagi, hubungan mereka seminggu ini memang sedang tidak baik. Mereka berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas mereka masing-masing membuat mereka bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali mereka bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini Vivi sudah mengosongkan semua jadwal kegiatannya. Dia ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Beni. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena mereka belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

Minggu-minggu pertama setelah jadi kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun jadi sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Anisa's Blog Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting